Sejak pertengahan tahun 2022, Yayasan Serasi Alam Santhi (SASHI), bekerja sama dengan Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FOMMA) dan didukung oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), telah memfasilitasi Masyarakat Hukum Adat Dayak Tahol di Putat, Seruyung dan desa Salap agar hutan adat mereka diakui.
Sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, hutan adat tidak lagi menjadi bagian dari kawasan hutan negara, melainkan menjadi hutan hak. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kemudian mengeluarkan Keputusan No. P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan hak.
Kemudian Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dengan jelas mendefinisikan kawasan hutan yang terdiri dari hutan negara dan hutan adat, dan berdasarkan statusnya hutan terdiri dari hutan negara, hutan adat, dan hutan hak (Pasal 15). Pasal 233 menyatakan bahwa hutan adat dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA), dapat berasal dari hutan negara dan/atau bukan hutan negara, dan mempunyai fungsi pokok konservasi, lindung dan/atau produksi.
Pengukuhan keberadaan MHA di kawasan hutan negara ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda), sedangkan keberadaan MHA di luar kawasan hutan ditetapkan dengan Perda atau keputusan gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Apabila Perda hanya mengatur substansi tata cara pengakuan MHA, maka pengukuhan keberadaan MHA ditetapkan dengan keputusan gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya (Pasal 234).
Selanjutnya penetapan status Hutan Adat dilakukan melalui permohonan kepada Menteri oleh pemegang adat (Pasal 238) dan setelah penetapan akan dikeluarkan dari Hutan Negara (Pasal 237). Apabila belum ada peraturan daerah (Perda), tetapi ada penetapan Wilayah Adat dengan keputusan bupati/walikota, maka Menteri melakukan proses penetapan Kawasan Indikatif Hutan Adat atau “WIHA”, dimana penetapannya status Hutan Adat mengikuti keberadaan Perda (Pasal 239). Lebih lanjut, Pasal 239 menyatakan, jika WIHA belum dibebani izin pemanfaatan, pemerintah tidak akan menerbitkan izin di kawasan tersebut. Sedangkan jika WIHA telah memiliki izin pemanfaatan, kegiatan pemegang izin disesuaikan dengan Kearifan Lokal dan dikoordinasikan dengan pemangku adat terkait. Penetapan Hutan Adat diatur lebih lengkap dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Pemerintah Kabupaten Malinau telah menerbitkan Perda No. 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau. Peraturan ini mengatur substansi hak masyarakat adat, kelembagaan, proses dan bentuk pengakuan hukum, penyelesaian sengketa dan tanggung jawab pemerintah. Pasal 18 menyebutkan pembentukan Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat/BPUMA, yang saat ini beroperasi berdasarkan Peraturan Bupati No. 201/2014. BPUMA kemudian mengeluarkan pedoman proses pengukuhan wilayah adat di Kabupaten Malinau.
SASHI memfasilitasi proses pengukuhan wilayah adat Dayak Tahol di Desa Putat, Seruyung dan Salap untuk mendapatkan surat keputusan dari Bupati Malinau. SASHI akan terus mendukung komunitas ini untuk mempromosikan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam waktu dekat.